Case 10


Prolog:
P.RO LOG Note 1 : Prolog ini bisa skip saja dan langsung baca casenya, sebab prolog ini panjang dan mungkin tidak ada clue di dalamnya, mungkin… Sebetulnya, case yang akan kami sajikan ini bukanlah buatan kami sendiri secara seutuhnya, sebab dalam team kami sendiri tidak ada yang merupakan Casemaker murni, jadi kami hanya mengambil beberapa referensi dari berbagai sumber dengan berbagai cara untuk membuat case ini seperti ini. Case ini secara keseluruhan ditulis berdasarkan catatan harian kakak salah satu anggota team kami yang meninggal 1 tahun lalu, namanya Rasidi, seorang guru sejarah di SMP Negeri 1 Tambaruntung, Kec. Tapin Tengah, Kab. Tapin, Kalimantan Selatan. Beberapa kata pada catatan ini kami edit, karena kami rasakan terlalu kasar, ada kata semacam bangsat, dan lain sebagainya. Catatan harian ini sendiri mulai ditulisnya sejak tahun 1989 saat baru masuk bangku kuliah, pada case ini catatan yang kami ambil adalah catatan sekitar tahun 1993 saat masa penyusunan skripsi dan tugas penelitian dari dosen di sebuah perkampungan suku Jawa pendatang di kabupaten Tapin, yaitu di desa Rawamuning (jika kalian orang Tapin, kalian pasti tahu desa ini). Catatan harian ini sendiri berkisah mengenai berbagai kejadian aneh yang menyertai tugas penelitian benda dan mitos sejarah yang dilakukan Rasidi dan 2 temannya di desa Rawamuning. Rasidi dan dua temannya saat itu meneliti sebuah benda pusaka yang katanya menjadi salah satu petunjuk keberadaan Cupu Manikam. Cupu Manikam sendiri adalah benda keramat yang dipercaya berasal dari zaman kerajaan Nan Sarunai sekitar tahun 1309 - 1389, sebuah kerajaan kecil suku dayak Manyaan yang menjadi cikal – bakal orang Banjar. Benda ini sempat disebut – sebut dibawa Empu Jatmika dari Jawa pada saat kedatangannya ke tanah Banjar, Empu Jatmika sendiri adalah orang yang mendirikan kerajaan Negara Dipa di daerah Margasari, Kalimantan selatan, Cupu Manikam sempat muncul kembali pada saat berkecamuknya perang saudara antara Pangeran Samudera (yang kemudian masuk islam dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah, raja pertama kesultanan Banjar) dengan pamannya dari kerajaan Negara Daha Pangeran Tumenggung. Beberapa saat setelah perang selelesai, benda ini menghilang kembali (ada pendapat yang mengatakan benda ini dibawa pasukan ke Demak, karena seperti kita semua ketahui waktu itu Pangeran Samudera sendiri mendapat bantuan pasukan dari kerajaan demak di Jawa di bawah pimpinan Khatib Dayan). Tetapi jujur, ada satu hal yang aneh tentang cerita ini, jika benar Cupu Manikam di bawa ke Jawa, mengapa keberadaannya tidak pernah disebut – sebut di tanah Jawa sampai sekarang? Cupu Manikam malahan sempat disebut – sebut kembali di tanah Banjar pada era perang Banjar yang dipimpin Gusti Pangeran Antasari dan keturunannya sekitar tahun 1859-1905, tetapi sekali lagi, sehabis itu keberadaan Cupu Manikam kembali menghilang. Mengenai bentuk dari Cupu Manikam sendiri tidak ada seorangpun yang tahu pasti, Prof. Bachrian A. Hadiyono (salah satu dosen Fakultas Pendidikan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) dalam salah satu bukunya pernah menulis : “….Benda ini tidak diketahui pasti bentuknya, tetapi ada dua kemungkinan, pertama Cupu Manikam berbentuk mangkok kecil serupa cawan, hal ini dapat dilihat dari kata “Cupu” dalam bahasa Banjar hulu sungai yang berarti mangkok kecil. Yang kedua Cupu Manikam bisa jadi adalah sebuah representasi dan pengharapan orang Banjar akan kedamaian, ini menjelaskan kenapa Cupu Manikam hanya disebut – sebut muncul pada saat terjadi perang, Representasi ini dapat disejajarkan dengan pengharapan Orang Jawa pada kedatangan Ratu Adil atau ramalan turunnya Imam Mahdi di kalangan kamu muslimin...” (Hikayat Tanah Banjar, BAB III, Hal 59).
CASE : Hari cerah 1993, sehari sebelum tanggal 13. Jam 10. Langit cerah hari ini, kecuali bagi mereka yang buta. Aku masih sibuk mengayuh sepeda kali ini, di belakang ada Budi dan Doni yang beriringan dengan sepeda dan tas ransel masing masing. Kami ini rencananya akan menuju Rawamuning, sebuah desa para transmigran dari pulau Jawa di pedalaman tanah Borneo. Tujuannya sederhana, untuk meneliti benda sejarah, ini hal yang aku suka, berurusan dengan masa lalu dan mencoba merangkai fakta untuk masa depan. Sekarang sehabis desa pandahan, kami berbelok kearah kiri, tepat menuju Rawamuning, selang beberapa menit berselang, kini kami telah tiba di suasana yang berbeda, kanan kiri yang tadinya hanya dihiasi rumah penduduk dan anak anak di pinggir jalan, kini berganti dengan berbagai macam pohon, mulai dari jingah, tilap, kelapa, kariwaya, langsat dan lain lain, suasana terasa gelap walau hari tidak mendung, jalan jalan sangat sederhana, hanya tanah merah seadanya. Sesekali cahaya menyinari saat kami berada di awang, yang di kanan dan kirinya yang terlihat hanya sawah dan burung burung bangau yang mencari katak di awal musim penghujan. Beberapa orang Jawa terlihat tersenyum naik sepeda dengan arah yang berlawanan, ke kota Rantau mungkin. Kurang lebih satu jam kini telah berlalu, aku dan kawan – kawan telah tiba disini, di Rawamuning, desa para transmigran. Langit terlihat mulai mendung, pertanda akan terjadi Ba’ah mungkin (hujan dengan konsentrasi yang sangat lebat). kami mereka mencari rumah kepala desa, mau menginap sekaligus meminta persetujuan mengadakan penelitian. Selang beberapa saat kepala desa menemui kami, dari pembicaraan kami dapat kuketahui namanya Purwanto, usianya sekitar 40 tahun, kepada Pak Anto aku dan teman – teman pun mengutarakan maksud kedatangan mereka ke desa tersebut, kami bilang kami datang guna mengadakan penelitian terhadap benda pusaka desa tersebut, yang konon katanya menyimpan rahasia keberadaan Cupu Manikam (sebuah benda keramat yang pernah beberapa kali terdengar namanya dalam sejarah Tanah Banua), oleh kepala desa yang 3 jari tangannya putus ini pun kami disuruh menginap di rumah dinas kepala desa karena hari sudah mulai sore, besok pagi rencananya mereka akan mendatangi rumah Pak Sakera, sesepuh kampung sekaligus pemimpin adat desa Rawamuning. Malam hari. Pak Anto (panggilan untuk kepala desa Purwanto) menceritakan sedikit mengenai benda pusaka yang ingin diteliti olehku dan kawan kawan ini, menurut Pak Anto, benda tersebut sebetulnya dibawa masyarakat Rawamuning dari Jawa sekitar tahun 1980, saat mereka mulai melakukan transmigrasi dalam rangka program transmigran presiden Soeharto, yang membawanya sendiri adalah Sukarta, ayah dari pak Sakera sekaligus pemuka adat pada generasi sebelumnya. Sukarta sendiri mendapatkan benda tersebut dari kakeknya yang juga mendapatkannya dari seorang pelarian perang Banjar saat zaman penjajahan Belanda. Menurut pak Anto, benda itu sendiri berupa sebuah gulungan yang memiliki gambar aneh, semacam tokoh wayang mungkin, tetapi tidak terdefinisi itu tokoh wayang apa, bentuknya mirip tokoh Arjuna, tetapi bertaring seperti kaum Raksasa, pak Sakera sendiri menyebutnya Prabu Sangkala, entah apa maksudnya aku tidak begitu tahu, satu – satunya tokoh wayang yang kutahu mungkin hanya Karna, yang menjadi asal nama presiden Soekarno, tokoh Indonesia yang paling ku kagumi. Aku mencatat hal ini berharap untuk menambah bahan penelitian kami, Budi saat itu tidak bersama kami, katanya ingin mewawancarai penduduk sekitar, langkah yang cukup brilian menurutku mengingat seorang peneliti tidak boleh hanya memiliki satu buah sumber penelitian. Jam 11 malam waktu arloji. Cahaya obor dan cahaya bulan masih saling bahu membahu menerangi Rawamuning malam ini, Budi pulang, membawa berbagai macam kabar burung yang didengarnya dari penduduk di desa, dia pun mulai bercerita, semangat sekali ceritanya, bikin tubuhnya yang agak gempal terlihat lucu di mataku. Budi bercerita bahwa tadi dia melakukan wawancara dan obrolan dengan beberapa orang yang ditemuinya di warung, aku yang tidak begitu pandai bicara seperti biasa mencatat saja. Menurut cerita Budi disana dia berjumpa dengan kakek Angga, seorang tua Madura (memang ada beberapa orang Madura di desa ini), kakek Angga memberitahu bahwa sebaiknya kami jangan melanjutkan penelitian ini, sebab ini akan membahayakan nyawa kami sendiri nantinya, menurut kakek Angga, di sekeliling Gulungan Prabu Sangkala ada sebuah kutukan yang siap kapan saja merenggut nyawa mereka yang coba berurusan dengannya, terakhir kali 2 tahun sebelum kedatangan kami, 4 orang anggota sebuah keluarga tewas semua setelah si kepala keluarga bercanda di warung mau mencuri dan menjual gulungan Prabu Sangkala kepada kolektor di kota. Sempat aku bergidik ngeri juga saat mendengar cerita Budi, bisa saja nyawa kami berada dalam ancaman, mungkin bagi beberapa orang terdengar konyol, tetapi ini tanah Kalimantan, tanah dimana apa yang di mata orang tidak mungkin bisa saja terjadi tiba – tiba. Pagi muram, tanggal 13. Hari ini rencananya kami akan pergi ke rumah Pak Sakera, kamitua (orang yang dituakan) di desa Rawamuning, Budi kulihat sudah bangun lebih awal, entah apa yang dikerjakannya,. Mungkin menulis laporan, atau malah menyiapkan babasal sebagai jimat penolak bala mengingat hari ini kami akan menyabung nyawa. Sekitar jam 8 pagi rencananya kami akan berangkat, setalah mandi dan menyiapkan segala surat, catatan sejarah, dan laporan penelitian yang diperlukan. Sekitar jam 8 pagi waktu arloji. Langit mulai cerah pagi ini, namun kurasakan angin masih ingin berhembus dingin. Aku kini sedang di jalan kampung, menuju rumah Pak Sakera, ditemani Untung yang kubonceng, remaja hitam pendiam ini adalah satusatunya remaja yang berhasil bertahan hidup dari kutukan yang menimpa keluarganya 2 tahun lalu. Diluar dugaanku, rumah Pak Sakera ternyata berada jauh dari keramaian, letaknya di awang. Menurut pengamatanku rumah Pak Sakera adalah satusatunya rumah yang berada di sekitar sini, entah kenapa aku merasa aneh, apa orang – orang desa sengaja menjauhi Pak Sakera dan kutukan Prabu Sangkala nya, atau Pak Sakera yang mengasingkan diri dengan suatu alasan yang tidak kuketahui. Setengah jam kurasa telah berselang, bersama Untung kami kini tiba di Rumah Pak Sakera, sampai disini aku merasa berada di dunia yang serba sederhana dan serba kayu, Pak Sakera yang hanya mengenakan baju lusuh, peci hitam dan sarung seadanya menjamu kami di rumahnya yang sederhana. Orang yang rambutnya mulai beruban ini sendiri kurasa adalah orang yang ramah, dia langsung mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu sederhananya. Di dinding kulihat tergantung berbagai macam pusaka, ada keris, celurit, tanduk kerbau, juga tanduk menjangan (rusa). Kini di depan kami muncul ibu Sakera (nama aslinya katanya Sri Asih), isteri dari Pak Sakera menyuguhkan kami teh manis dan kue Getuk Lindri yang katanya merupakan kue khas dari Jawa Tengah. Ibu Sakera ini adalah seorang yang piawai dalam mengolah kue tradisional. Katanya, walau hidup susah dia selalu menyuguhkan kue tradisional setiap kali ada orang yang bertamu ke rumah mereka. Tentu saja aku tidak langsung percaya mengenai hal ini. Dia sempat berbincang sedikit bersama kami, katanya, di Rawamuning ini termasuk gampang mencari bahan-bahan dari alam untuk membuat kue, seperti pandan, kelapa, gula Jawa (banyak pohon aren disana dan banyak warga yang piawai dalam mengolahnya menjadi gula Jawa). Setelah berbincang bersama kami dan Pak Sakera, ibu Sekera mau pamit untuk pergi ke acara yang diadakan Bupati Kabupaten Tapin di kota Rantau, katanya dia akan menginap beberapa malam di rumah keluarganya di Cangkring, dekat kota Rantau. Sebelum berangkat, ibu Sakera memberi pesan kepada Pak Sakera bahwa dia telah menyiapkan nasi, lauk pauk seadanya serta kue kalau-kalau Pak Sakera mau makan. Aku mencatat saja hal ini, walau tidak yakin apa ini akan bermanfaat bagi penelitian kami atau tidak, persetan lah. Ibu Sakera baru saja pamit, kami meneruskan perbincangan kami dengan Pak Sakera. Budi dengan agak sedikit malu memulai pembicaraan dengan Pak Sakera mengenai keberadaan Prabu Sangkala dan kaitannya dengan Legenda Cupu Manikam yang menjadi objek penelitian kami. Aku mulai senang, aku mulai tertarik, aku mulai mencatat. Pak Sakera mulai bercerita sedikit tentang Cupu Manikam dan hubungannya dengan Gulungan Prabu Sangkala yang ada di tangannya saat ini. Pak Sakera menegaskan bahwa sampai detik ini Cupu Manikam masih belum diketahui keberadaan pastinya oleh orang-orang, satu – satunya hal yang konon bisa menegaskan letak dan keberadaan benda pusaka tersebut adalah sebuah gulungan yang disebut Prabu Sangkala, gulungan ini sendiri berisi gambar wayang Arjuna bertaring dan ada tulisan arab di sampingnya. Sampai saat ini sendiri belum ada siapapun yang dapat memecahkan ataupun mengartikan tulisan arab yang tertera di gulungan itu, orang – orang dari dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tapin serta tukang gambar yang datang kesini 3 bulan yang lalu pun merasa tata bahasa serta kosa kata yang dipakai menyalahi aturan Ilmu Nahwu dan Ilmu Saraf yang berlaku. Gulungan ini sendiri merupakan warisan turun temurun keluarga pak Sakera. Pak Sakera bercerita bahwa dulunya leluhurnya mendapatkannya dari salah seorang pelarian perang Banjar yang lari ke tanah Jawa. Kupikir apa yang dikatakan Pak Sakera ini mungkin saja, mengingat pada masa Perang Banjar orang Banjar memang menjalin hubungan dengan orang di tanah Jawa, selain dengan orang Dayak tentunya. Beberapa saat kini berselang, dan aku masih sibuk mencatat sementara Doni dan Budi yang lebih pandai bicara menanyakan berbagai pertanyaan seputar gulungan itu, Pak Sakera sendiri sekarang menunjukkan gulungan yang beliau maksudkan. Aku dan yang lain pun melihat gulungan yang konon katanya menunjukkan letak benda legandaris Cupu Manikam ini. Memang benar seperti yang Pak Anto dan Pak Sakera bilang, di dalam gulungan itu ada sebuah gambar yang mirip tokoh pewayangan dengan beberapa tulisan arab di ke empat sisinya, disana setiap sisi juga tercantum lingkaran dengan angka arab di dalamnya, hal ini mengingatkanku pada ayat – ayat di kitab suci Al Qur’an yang juga biasanya tercantum gambar yang serupa sebagai batas ayat satu dengan ayat lainnya. Untuk memantapkan laporan kami, Dodi meminta izin kepada pak Sakera untuk mengambil gambar dari gulungan tersebut menggunakan kamera Kodak yang dipinjam dari pamannya. Kami beruntung satu kelompok dengan Dodi, karena paman dari Dodi memiliki jasa pemotretan dan Dodi bisa dengan mudah meminjam kamera dari pamannya. Setelah Dodi mengambil gambar gulungan tersebut, kami bertanya lagi kepada pak Sakera, kali ini perihal kutukan bagi siapapun yang mencoba mengusik atau berurusan dengan Cupu Manikam akan dikutuk. Pak Sakera hanya menJawab dengan tawa ringan dan menegaskan bahwa itu hanyalah kepercayaan dan tahayul sebagian orang saja, buktinya saja, Dia yang selama ini memegang gulungan itu saja sekarang baik-baik saja. Benar juga pikirku, sebuah kutukan hanyalah kepercayaan sebagian orang saja, atau bisa juga sebaliknya. Hari sudah mulai panas, hari jam setengah dua belas. Baru saja datang seorang pemuda yang hampir seumuran dengan kami, wajahnya muram kurasa, dia langsung masuk ke dalam kamar tanpa menyapa kami. Pak Sakera bilang itu adalah anaknya, namanya Mujin, pak Sakera meminta maaf kepada kami karena anaknya berlaku tidak sopan begitu. Katanya dulu Mujin memiliki seorang adik perempuan yang bernama Santini, namun Santini telah meninggal dunia sekitar 3 bulan yang lalu. Semenjak kejadian itu Mujin yang dulunya pendiam dan baik mulai agak berubah perangainya, mungkin karena masih belum bisa menerima kehilangan adik perempuannya yang berharga. Mujin juga mulai percaya bahwa Gulungan yang saat ini mereka bicarakan itu memang benar – benar ada kutukannya Pak Sakera bilang sudah beberapa kali Mujin mengusulkan agar dia membuang saja gulungan Prabu sangkala, tetapi beliau tidak mau, beliau berasalan itu gulungan peninggalan leluhur, jika dia membuangnya maka sama artinya dia membuang leluhurnya sendiri, aku sepaham kali ini dengan Pak Sakera. Hari makin terik tetapi belum tentu menarik. Hari menjelang jam 1, Kami baru saja pamit untuk pulang, kali ini tanpa Untung, Untung tinggal dulu di rumah Pak Sakera katanya masih ada yang ingin dibicarakan, kami setuju saja mengenai hal ini, Untung yang selama pembicaraan tadi lebih banyak diam mungkin punya sesuatu yang ingin dibicarakan dengan Pak Sakera, mungkin mengenai kutukan yang merenggut 4 orang keluarganya 2 tahun silam, atau yang lain, entah, aku tidak peduli. Kami tengah berjalan - jalan menikmati sedikit panorama di daerah Rawamuning kali ini, hari sudah hampir jam 3, tentunya jika arlojiku tidak berbohong. Suasana disini masih sangat asli, jauh dari hiruk pikuk, berbeda dengan Banjarmasin yang kurasa telah mulai jadi hutan beton. Aku senang berada di tempat ini, kesederhanaan, keasrian, dan kebodohannya mengingatkakanku pada masa aku kecil Untuk mengitari daerah Rawamuning ini, kami memutuskan untuk berjalan kaki saja dengan menggandeng sepeda kami masing-masing. Aku, Budi, dan Dodi sempat berbincang-bincang dengan warga sekitar, sekarang disamping kami ada bapak Supriyanor, orang Banjar yang suka sekali bercerita, benar – benar tipikal orang Banjar asli. Sambil mendengarkan cerita Pak Supri yang aku tidak tahu kebenarannya, aku melihat di sepanjang jalan banyak orang menenteng unjun, alat pancing yang terbuat dari bambu, biasanya dipakai untuk memancing ikan gabus dan papuyu, untuk ikan gabus biasanya memakai umpan kodok muda, dan untuk papuyu biasanya umpannya adalah larva sejenis serangga yang membuat sarang bergumpal di pohon, orang sini menyebutnya kakarangga. Berjalan beberapa puluh meter, masih dengan pak Supri, kami lewat di depan rumah seorang warga. Kami melihat ada orang yang kejang-kejang disana, ada beberapa orang yang mencoba membantunya. Budi bertanya kepada seorang warga, katanya yang kejang – kejang itu namanya Maryanto, pemuda yang tinggal sebatang kara di desa ini. Menurut warga yang kami tanyai, katanya Imar ini sudah lama punya penyakit aneh, terkadang kejang – kejang bahkan tak sadarkan diri tanpa sebab yang jelas, waktunya pun tidak menentu, sampai sekarang belum ada obatnya katanya. Aku jadi curiga Imar ini kena “Pulasit”, sebutan orang Banjar untuk mereka yang sering hilang kesadaran tanpa sebab yang jelas, biasanya karena diganggu makhluk halus. Ditemani cerita – cerita Pak Sapri dan Maryanto dengan “Pulasit” nya, hari telah mencapai jam 4 sore, kami berpisah dengannya, mengayuh sepeda ke tujuan masing, pak Supri ke rumahnya, dan kami ke rumah Pak Anto. Pagi mencekam tanggal 14. Bulan purnama barusaja berlalu tadi malam. Nafasku masih tersengal – sengal kali ini, baru saja aku berlari sekuat tenaga kuda, kulihat baru 6 orang disini, hanya aku, Budi, Doni, Pak Anto serta 3 orang desa yang ada disana, beberapa warga desa yang kami temui di jalan katanya akan menyusul. Kami ada disini, di di depan rumah Pak Sakera. Ngeri juga ketika di depan mataku sekarang ini terbaring mayat, dari Pak Anto kuketahui namanya Edi, seorang penduduk desa ini, asalnya dari Jawa timur. Mayat Edi terlihat bersimbah darah, penuh luka bacokan, usus nyaris terburai dan tangan nyaris putus. Kulihat beberapa meter disamping mayat kakunya tergeletak celurit tanpa darah, entah punya siapa, punya pembunuhnya mungkin. Dari pak PurwAnto pula aku dengar kalau Edi ini sedang punya masalah keluarga, istrinya digosipkan selingkuh dengan seorang pedagang sate di Desa Pandahan. Entah benar atau tidak, aku masih tidak tahu. Kemudian ada satu hal lagi kali ini, dimana Pak Sakera dan Mujin? Apa mereka tidak tahu ada mayat di depan rumah mereka?. Hari makin mencekam, walau kita tahu dia belum malam. Aku mulai merasa ngeri sekarang, baru 5 menit setelah penemuan mayat Edi, 3 orang warga yang coba memberitahu Pak Sakera dan Mujin (yang tidak kunjung muncul juga) tentang penemuan mayat di depan rumah mereka kembali terkejut, kali ini ada mayat lagi, Mujin yang mati kali ini, sekarang aku ada di depan mayatnya, bersama beberapa warga lain yang mulai berdatangan (walau kami semua masih tidak berani mengangkat mayatnya). Mayat Mujin kami temukan tepat di depan pintu sebelah dalam rumah, pada awalnya tadi pintu rumah terkunci, kuncinya sendiri berupa palang pintu dari kayu, posisinya mayatnya tertelungkup dengan tangan membujur ke depan, mungkin mau menggapai sesuatu, kulihat wajahnya tampak menunjukkan raut kesakitan, ada beberapa bekas muntah di sekitar lantai. Aneh juga, batang dan hidung Pak Sakera tidak juga kelihatan, ah jangan – jangan dia juga sudah mati, sama seperti 2 orang tadi. Aku, Doni, dan Budi mulai masuk lebih dalam ke rumah ini, memberanikan diri mencari Pak Sakera, kulihat banyak barang terlihat berantakan dan seperti di acak acak seseorang, terutama di dalam kamar, jangan jangan ini perampokan yang disertai penculikan, karena kulihat Pak Sakera tidak ada dimanapun, di kamar tidak ada, di dapur, juga tidak ada, sekarang aku ada di depan sumur yang dekat dengan jamban, kalau kalau ada Pak Sakera dibunuh perampok dan dibuang mengambang, kuharap jasadnya mengambang di dalamnya, tetapi setelah kutengok ke dalam sumur, tidak ada juga. Aku disini malah mulai mencium bau amis, kulihat sebentar, ternyata ada beberapa bercak darah bercecaran di pinggir sumur, sudah mulai menghitam tampaknya. Aku jadi curiga, untuk sekarang ada dua kemungkinan yang ada di benakku, pertama, pak Sakera, Mujin, dan Edi menjadi korban pembantaian perampok Bengal, tujuannya mungkin mau mengambil Gulungan Prabu Sangkala untuk dijual ke kolektor, dan yang kedua sekaligus yang terburuk, kutukan telah mulai menampakkan taringnya di desa ini, jangan jangan gara – gara kami semalam 3 orang ini telah terbunuh atau malah dibunuh makhluk halus. Dalam benakku aku berharap kemungkinan pertamalah yang benar, karena jika yang benar adalah kemungkinan kedua, maka nyawaku akan berada dalam bahaya. Langit cerah telah membohongi hari ini, begitu yang kupikir. Terkutuk Dua jam yang lalu aku masih di rumah Pak Sakera dengan kejadian penemuan dua mayatnya, sekarang aku ada di areal persawahan di dekat mayat ketiga yang kulihat hari ini, Untung telah tewas kali ini, remaja yang menemani kami ke rumah Pak Sakera kemarin ini tewas saat mencari kodok untuk dijadikan umpan pancing di sawah (kulihat kiba berisi kodok masih tergantung di punggungnya), kemungkinan besar pada malam hari (sebab kodok akan lebih jinak dan lebih mudah di tangkap pada malam hari), posisi mayatnya terlentang dengan sebagian besar bagian terkena lumpur, di sekitar mayat banyak anak padi yang baru di tanam rusak, mungkin Untung menggelinjang dulu sebelum mati, kesakitan dan sulit bernafas mungkin, aku lihat juga ada beberapa bekas muntah di bedengan pembatas petak sawah dekat mayat, mungkin muntahnya Untung. Sore hari menjelang senja, langit kemerah merahan, sesekali terdengar bunyi elang mencari mangsa, orang tua Banjar dahulu menyebut senja semacam ini dengan “Sanja Kala”. Menurut legenda orang Banjar, jika “Sanja Kala” muncul maka akan ada banyak kematian dalam waktu dekat ini, orang Banjar mungkin benar tentang ini, aku merasa “Sanja Kala” hari ini adalah gerbang pembuka ke kematian yang lainnya. Dan hari kembali jadi sunyi, mungkin benar kata Ayahku bahwa kematian punya kesunyian masing – masing. Sore ini aku teringat lagi, sekitar jam 4 tadi kami barusaja ikut penguburan jenazah Edi, Untung, dan Mujin, ada satu fakta lagi yang aku dapatkan kali ini, Ibu Sakera yang barusaja kembali dari kota Rantau siang tadi setelah mendengar kematian anaknya dan menghilangnya suaminya menemukan baju Mujin yang ada bercak darahnya di baskom cucian di dekat sumur. Gulungan Prabu Sangkala pun hilang entah kemana. Aku makin curiga ini perampokan disertai penculikan, walau aku masih belum paham bagaimana caranya perampok masuk ke rumah, karena tadi pagi saat menemukan mayat Edi dan Mujin kami juga sempat memeriksa rumah, pintu depan terkunci dengan gembok kayu, pintu belakang pun demikian, kaca jendela tidak ada yang pecah, dan sialnya tidak ada satupun jendela yang terbuka, intinya menurut pengamatan kami tadi pagi, rumah Pak Sakera terkunci seluruhnya, apa mungkin Ibu Sakera berbohong mengenai hilangnya gulungan itu, kalau begitu untuk apa? Malam hari tanggal 14, bulan masih terang benderang, walau sudah tidak purnama. Sekarang aku, Budi, dan Doni serta Pak Anto ada disawah, berbekal obor, lampu petromak dan secuil nyali kami dan beberapa penduduk desa menjelajah semak pematang, rawa, dan belukar di sekitar Rawamuning, tujuannya hanya satu, mencari keberadaan Pak Sakera, kami berharap setidaknya bisa menemukan mayatnya kali ini, dan jika Pak Sakera masih hidup maka tentunya kami semua akan sangat bersyukur. Arlojiku sekarang sudah menunjuk pukul 10 lebih sedikit,pencarian masih terus dilakukan, kulihat beberapa orang Banjar dari desa tetangga juga ikut, ada yang membakar terasi, ada yang memukul mukul ngiru (alat tradisional untuk memisahkan beras dari kerikil dan kulit padi yang mungkin tersisa saat proses penggilingan), memang dalam adat masyarakat kami hal ini lazim dilakukan jika ada masyarakat yang menghilang tanpa jejak, kebanyakan orang Banjar percaya mereka diculik “Hantu Baranak”, dalam beberapa kasus orang yang diculik “Hantu Baranak” terkadang ditemukan dengan tubuh penuh dengan lendir, entah lendir apa. Mataku mulai mengantuk dan bintang masih banyak di langit, tetapi sial belum ada tanda – tanda Pak Sakera akan ditemukan. Tadi ada beberapa orang desa yang bertanya mengapa aku selalu menulis di setiap saat, tadi aku bilang saja ini untuk penelitian, walau ada tujuan lain sebenarnya. Aku hanya mengamalkan prinsip hidupku, bagiku setiap cara belajar yang terbaik adalah dengan belajar kepada sejarah, dan sialnya, setiap saat itu adalah sejarah, untuk itulah aku terus mencatat, agar semua sejarahku tidak hilang, dan aku bisa belajar dari catatan ini pada waktu yang akan datang. Jam 1 malam lewat 10 menit, begitulah yang kuketahui dari Arloji, kami menemukan mayat lagi, kali ini aku sendiri yang menemukan, warga sudah mulai berdatangan kesini. Ini mayat seorang pria, aku yakin itu dari pakaiannya, mayatnya tertelungkup di pematang sawah yang airnya baru setinggi sekitar satu jengkalku, lagi lagi aku merasa aneh mengenai hal ini, anak – anak padi dan rumput sekitar mayat tidak tampak mengalami kerusakan berarti, berbeda dengan yang terjadi pada mayat Untung kemarin siang, tidak terlihat juga adanya tanda – tanda kekerasan. Pria tersebut ternyata adalah Maryanto. Maryanto mati kukira juga saat sedang mencari kodok untuk umpan pancing, kulihat ada pelastik gula terikat berisi beberapa kodok yang masih terselip erat di genggamannya. Mengingat Maryanto juga tewas saat mencari kodok, aku jadi curiga jangan – jangan yang terjadi sekarang adalah kutukan kodok, dan bukan kutukan gulungan Prabu Sangkala seperti yang orang – orang desa bilang. Malam makin panjang, suasana masih kian mecekam, angin malam masih dingin, Pak Sakera masih belum juga ditemukan, sekitar jam 3 subuh banyak warga pulang ke rumah masing – masing, mengantuk mungkin, sama seperti yang sekarang aku rasakan. Tadi aku sempat bertanya kepada orang Desa, kenapa 3 mayat kemarin tidak dibawa ke rumah sakit untuk di otopsi dulu atau lapor polisi, orang desa dengan lugu menjawab bahwa ini tragedi kutukan mengingat pak Sakera telah mencoba membagikan rahasia Gulungan Prabu Sangkala kepada orang luar, rumah sakit dan kepolisian tidak akan membantu kata mereka. Aku langsung tertegun, ingin kupaksakan kehendakku untuk membawa mayat ke 4 ke rumah sakit, tetapi apa daya, tidak ada mobil disini, jarak dari sini ke Kota Rantau sekitar 40 KM, mana ada orang konyol yang mau jalan kaki atau naik gerobak sapi sejauh itu membawa mayat hanya untuk mengotopsinya, selain itu aku juga merasa bersalah, aku merasa kalau kejadian ini berawal dari penelitianku dan teman - teman mengenai petunjuk keberadaan Cupu Manikam yang katanya terkandung dalam gulungan Prabu Sangkala. Pagi tanggal 15, hujan rintik pagi ini, matahari tampak kabur walau tidak pernah kabur. Aromaku busuk. Ada kabar baik dan kabar buruk pagi ini, kabar baiknya Pak Sakera sudah ditemukan, tersembunyi di sumur tua berair dangkal sekitar 100 meter (menurut perkiraanku) dari rumahnya. Berita buruknya saat ditemukan warga, Pak Sakera sudah menjadi mayat, dan ini jadi mayat kelima yang kami temukan di desa selama satu minggu ini. Sekarang aku, Doni, dan Budi sedang berjalan beriringan, agak sedikit menjauh dari kerumunan orang – orang yang menggotong mayat, kami tidak tahan dengan bau bangkainya. Hal ini bisa terjadi karena saat ditemukan Pak Sakera sudah mulai membusuk, tadi pagi sekitar jam setengah tujuh seorang warga yang akan pergi menanam benih tidak sengaja lewat sumur tua tempat ditemukanya mayat Pak Sakera, awalnya dia curiga ada bau busuk menyengat dari arah sumur, dia kira mungkin itu anjing, biawak, atau gubang (sejenis sigung) yang mati di dalam sumur, tetapi saat dilihat ternyata yang ada malah Pak Sakera dengan tubuh mulai mebengkak, warga itupun segera memanggil warga yang lain, termasuk kami. Kami berlari saja saat itu, aku yang baru saja bangun pagi belum sempat mandi. Sesampainya disana sempat juga kulihat mayat pak Sakera, memang seperti yang warga bilang, mayatnya sudah membusuk di dalam sumur, kulihat di beberapa bagian tubuhnya ada beberapa bekas luka tusukan dan bacokan yang tentunya sudah mulai dihinggapi belatung, aku maklum saja dengan hal ini, Pak Sakera memang sudah 2 hari menghilang sejak kami terakhir bertemu. Malam mulai kelam Belum buntu malam Kami masih berjaga –Thermopylae?- -Jagal tidak dikenal?- Tapi nanti Sebelum siang membentang Kami sudah tenggelam hilang (Chairil Anwar. 1957) Puisi ini menggambarkan keadaanku, Doni, Budi, dan banyak warga kampung Rawamuning malam ini, masih berjaga dan berharap besok masih hidup. Seharian ini aku malas menulis, pena terasa kehilangan nafsu setelah mencium bau busuknya mayat Pak Sakera pagi tadi. Teringat kembali aku habis Zuhur tadi, Pak Sakera dimakamkan, berdampingan dengan makam Mujin yang tanahnya masih belum kering, aku tengah duduk disini, di pelataran rumah Pak Anto, besok sepertinya aku akan pulang, begitu juga Doni dan Budi, ada dua alasan mengapa aku akan pulang besok, yang pertama karena informasi yang kami kumpulkan di tempat ini digabung dengan informasi yang telah kami kumpulkan di tempat lain seminggu sebelumnya tampaknya sudah mencukupi untuk menulis sebuah laporan mengenai Cupu Manikam, yang kedua mungkin karena ketakutan kami (khususnya aku) akan kutukan yang sedang terjadi, sudah beberapa kali aku sebagai anak kuliahan semester akhir memikirkan berbagai macam kemungkinan yang logis tentang semua yang terjadi selama 4 hari ini, tetapi sial, masih saja ada sebuah pertanyaan yang mengganjal, pertanyaan tentang mengapa 5 kematian tragis bisa terjadi dalam rentan waktu yang tidak jauh? Akhirnya kini kusimpulkan untuk sementara bahwa ini semua hanya kebetulan, memang begitu kurasa, bukankah ayah selalu bilang bahwa terkadang hidup ini adalah rentetan kebetulan yang terjadi secara kebetulan? Entahlah, aku tidak perduli. Malam mulai kelam Belum buntu malam Kami masih berjaga –Thermopylae?- -Jagal tidak dikenal?- Tapi nanti Sebelum siang membentang Kami sudah tenggelam hilang (Chairil Anwar yang telah mati. 1957)
Epilog:
E.P. I LOG Jujur saja, kami merasa sangat tidak enak menyajikan Case semacam ini di kompetisi TDIBG, tapi apa boleh buat, case sudah terlanjur dibuat dan penelitian sudah terlanjur kami lakukan saat liburan kuliah. Kami sadar semua team yang ada disini tampaknya adalah teman yang hebat, 1. Coba pikirkan, kemudian bantu kami menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat penelitian yang dilakukan Rasidi yang diwarnai tewasnya 5 orang warga di Desa Rawamuning? Kami harap penjelasan logis dari team kalian bisa membantu kami memahami tragedi ini. (30 point maksimal) 2. Orang – orang di Dinas Pariwisata Kabupaten Tapin (dan juga kami) sampai sekarang masih percaya bahwa di dalam gulungan Prabu Sangkala tersimpan Rahasia mengenai keberadaan Cupu Manikam, coba bantu kami mengetahui isi dan maksud dari gulungan ini ! (30 point maksimal) Ini beberapa fakta yang kami dapatkan selama meneliti buku harian ini : 1. Rasidi telah meninggal tahun 2012 kemarin. 2. M. Hendra Budiman telah meninggal karena kanker pada tahun 2001, 3. Doni tidak lulus saat test CPNS dan telah berakhir sebagai seorang tukang ojek di Kayutangi, kami bertemu dengannya sedang mangkal di depan Rumah Sakit Ansyari Saleh kayutangi, Banjarmasin. 4. Rawamuning sekarang sudah mulai di rusak, Perusahaan besar mulai berlomba – lomba mendirikan perkebunan sawit besar – besaran mulai dari daerah sungai Bahalang sampai dengan Rawamuning. 5. Gulungan Prabu Sangkala yang asli tidak pernah diketemukan lagi sampai sekarang. Tetapi salinan yang dibuat Tukang Gambar pada saat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata meneliti gulungan ini masih ada, walau tampaknya kurang terawat, sekarang tersimpan di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tapin di daerah Dulang, Rantau. 6. Saat kami berkunjung ke Rawamuning, sebagian besar tokoh dalam catatan harian ini telah meninggal dunia, karena sudah tua, ada juga yang telah pindah ke daerah lain. Orang – orang muda yang tersisa tampaknya juga sudah mulai lupa dan tidak peduli tentang kejadian ini. 7. Ini adalah gambar salinan Gulungan Prabu Sangkala. Gambarnya kami ambil di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tapin :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Teknik Mengambil Sidik Jari

Cara Mengembangkan Intuisi Seperti Sherlock Holmes

Grafologi